Minggu, 23 Mei 2021

Diskriminasi terhadap Perempuan Difabel oleh Rekan Kerja

“Aku sengaja lari duluan biar tidak dimintai tolong dia” kata A, laki-laki nondisabilitas, sambil berlari.

“Aku juga. Sudah minta jemput kayak bos. Ra sudi aku, “ sahut B, laki-laki, nondisabilitas, sambil berlari di samping B. Dan keduanya pun tertawa.

Sementara di belakang mereka, C, seorang perempuan dengan disabilitas fisik, menggunakan brace dan tongkat, berjalan tertatih dan berhati-hati sekali melewati paving berlumut yang sewaktu-waktu bisa menjatuhkannya dan mencederainya serta memperparah kedisabilitasannya.

Sebenarnya dia butuh bantuan, butuh pegangan. Namun ia ditinggalkan tanpa bantuan, karena dianggap sebagai beban dan merepotkan.

Sebenarnya tanpa sepengetahuan C, hal-hal lain terkait C kerap menjadi bahan candaan. Bahkan kedua rekan kerjanya itu kerap menggerutu di belakang C karena mobil dinas yang mereka tumpangi harus menjemput dan mengantar pulang C. “Wah kalau ada dia, bakal ada yang pindah ke belakang duduknya,” salah satu gerutuan mereka.

Padahal tidak setiap hari C minta dijemput. Dia hanya minta dijemput hanya saat kakinya terasa sangat nyeri karena Osteoarthritis (OA) yang dialaminya sebagai efek dari disabilitas pada kakinya, atau hanya jika perkiraan pekerjaan sampai malam yang notabene rawan bagi perempuan, apalagi perempuan difabel. Bahkan seringkali C diminta untuk tidak ikut rombongan yang kesemuanya laki-laki nondisabilitas, dengan alasan telat atau alasan lain yang dibuat-buat. Padahal ia punya hak yang sama dengan yang lain. Apalagi Si Bos pernah berpesan bahwa jika memang memerlukan untuk dijemput, maka mintalah untuk dijemput mobil dinas tidak apa-apa.

Kira-kira bagaimana perasaan C saat mengetahui percakapan-percakapan 2 rekan kerjanya itu? Marah, pasti. Sakit hati, tentu saja. Terlecehkan, terhina dan terendahkan martabatnya sebagai manusia.

Apa yang dialami C itu sudah dikategorikan diskriminasi atas dasar disabilitas. Diskriminasi menurut UU Nomor 8 Tahun 2016 adalah setiap pembedaan, pengecualian, pembatasan, pelecehan, atau pengucilan atas dasar disabilitas yang bermaksud atau berdampak pada pembatasan atau peniadaan pengakuan, penikmatan, atau pelaksanaan hak Penyandang Disabilitas.

sumber gambar: difabel.tempo.co/read/1166770/sebab-perempuan-disabilitas-rentan-mengalami-kekerasan-seksual

Dalam hal ini, C mengalami diskriminasi ganda, baik dia sebagai difabel maupun sebagai perempuan. Menganggap bantuan yang dibutuhkan difabel perempuan (perlakuan khusus) sebagai hal yang tidak penting dan merepotkan, serta ungkapan-ungkapan yang bernada melecehkan. Menjadikannya bahan candaan adalah sama saja dengan merendahkan harkat martabat sebagai manusia. Permintaan agar C tidak ikut serta dalam mobil adalah bentuk pengucilan. 

Kasus di atas hanyalah merupakan contoh yang menunjukkan bahwa di sekitar kita masih banyak orang-orang yang sama sekali tidak memiliki perspektif disabilitas dan perspektif perempuan. Akibatnya, diskriminasi-diskriminasi masih terus terjadi pada perempuan dengan disabilitas. Bahkan Pelakunya adalah termasuk orang-orang yang berpendidikan tinggi yang seharusnya paham, minimal tentang penghormatan harkat martabat manusia. Tapi yah orang kadang lebih senang untuk berpura-pura lupa untuk menghormati hak orang lain. Berpura-pura tidak melihat bahwa ada difabel yang memerlukan bantuan karena menganggap sebagai beban yang merepotkan. Berpura-pura tidak tahu bahwa setiap orang berhak untuk diperlakukan dengan baik, bukan dijadikan candaan. 

Padahal kalau mereka mengerti, setiap orang berpotensi untuk menjadi difabel. Atau setiap orang pada akhirnya bisa menjadi penyandang disabilitas. Misal karena faktor usia, kemudian menjadi kehilangan pendengaran atau penglihatan. Atau contoh lain, pagi masih memiliki sepasang kaki yang kuat dan bisa berlari, namun sorenya sudah menjadi difabel karena amputee kaki akibat kecelakaan saat naik motor atau menyetir mobil. Atau bisa juga terpeleset di kamar mandi lalu tiba-tiba stroke, tidak bisa menggerakkan anggota tubuh. Dua contoh terakhir bisa juga terjadi pada orang dengan usia yang muda atau produktif. Kalau sudah seperti itu baru deh sadar bahwa perlakuan khusus untuk difabel itu perlu.

Kembali pada  A dan B. Kira-kira kata-kata atau ungkapan apa yang pantas untuk 2 'kunyuk' itu?

 

Senin, 17 Mei 2021

Akomodasi Yang Layak Bagi Siswa Dengan Disabilitas

Akomodasi yang layak adalah salah satu poin penting yang harus ada dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif. Pendidikan inklusif sendiri merupakan sistem pendidikan di mana siswa dengan disabilitas dapat bersekolah di sekolah reguler bersama dengan siswa lainnya tanpa diskriminatif.

Di Daerah Istimewa Yogyakarta, soal pendidikan inklusif ini diatur dengan Peraturan Gubernur DIY No 21/2013. Berdasar Peraturan Gubernur tersebut, definisi Pendidikan inklusif adalah sistem pendidikan yang memberikan peran kepada semua peserta didik dalam suatu iklim dan proses pembelajaran bersama tanpa membedakan latar belakang sosial, politik, ekonomi, etnik, agama/kepercayaan, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik maupun mental, sehingga sekolah merupakan miniatur masyarakat. Jadi bisa dikatakan bahwa pendidikan inklusif itu adalah pendidikan untuk semua.

Ada beberapa hal penting harus dipenuhi dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif, antara lain adalah soal aksesibilitas dan akomodasi yang layak. Aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan untuk penyandang disabilitas guna mewujudkan  kesamaan kesempatan. Aksesibilitas ini bisa berupa aksesibilitas fisik (penyediaan ramp, lift, dll) dan nonfisik (informasi yang aksesibel).

sumber gambar: siedoo.com/berita-14360-ombudsman-ungkap-persoalan-pendidikan-siswa-disabilitas/

Sedangkan yang dimaksud dengan Akomodasi yang Layak adalah modifikasi dan penyesuaian yang tepat dan diperlukan untuk menjamin penikmatan atau pelaksanaan semua hak asasi manusia dan kebebasan fundamental untuk penyandang disabilitas berdasarkan kesetaraan. Yang dimaksud dengan modifikasi dan penyesuaian di sini adalah berupa pemberian afirmasi dan fleksibilitas (misal proses pembelajaran, materi pembelajaran).

Pemberian afirmasi, atau sering pula disebut dengan tindakan afirmasi (affirmative action) adalah kebijakan yang diambil dengan tujuan agar kelompok tertentu memperoleh peluang yang setara dengan yang lain di bidang yang sama. Bisa dikatakan bahwa tindakan afirmasi ini adalah kebijakan yang memberikan keistimewaan pada kelompok tertentu, yang dalam pembahasan di sini adalah penyandang disabilitas. Jadi tindakan afirmasi ini adalah merupakan diskriminasi yang positif, karena tanpa tindakan afirmasi maka penyandang disabilitas tidak akan dapat menikmati hak-haknya secara penuh.

Mengenai akomodasi yang layak untuk penyandang disabilitas di bidang pendidikan, telah diatur dalam PP No. 13/2020 tentang Akomodasi Yang Layak Untuk Peserta Didik Penyandang Disabilitas. PP No. 13/2020 sendiri adalah merupakan salah satu peraturan turunan dari UU No. 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas.

Penyediaan akomodasi yang layak di bidang pendidikan ini penting, karena untuk menjamin terselenggaranya dan / atau terfasilitasinya pendidikan untuk siswa dengan disabilitas (difabel anak). Dan penyediaan akomodasi yang layak ini adalah WAJIB dalam penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik penyandang disabilitas, dan Pemerintah wajib untuk memfasilitasi hal ini. Hal ini sesuai dengan amanat dari UU No. 8/2016 pasal 43 ayat (1) yang menyatakan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memfasilitasi lembaga penyelenggara pendidikan dalam menyediakan Akomodasi yang Layak.

Bentuk Akomodasi yang Layak

Bentuk akomodasi yang layak ini diberikan berdasarkan ragam disabilitas dari masing-masing peserta didik.

Adapun bentuk akomodasi yang layak bagi peserta didik dengan disabilitas fisik:

  1. ketersediaan aksesibilitas untuk menuju tempat yang lebih tinggi dalam bentuk: bidang miring (ramp), lift dan/atau bentuk lainnya
  2. pemberian afirmasi seleksi masuk di Lembaga Penyelenggara Pendidikan sesuai dengan kondisi fisik Peserta Didik Penyandang Disabilitas
  3. Fleksibilitas dalam proses pembelajaran
  4. fleksibilitas bentuk materi pembelajaran, sesuai dengan kebutuhan;
  5. fleksibilitas dalam perumusan kompetensi lulusan dan/atau capaian pembelajaran
  6. fleksibilitas dalam evaluasi dan penilaian kompetensi
  7. fleksibilitas waktu penyelesaian tugas dan evaluasi
  8. asistensi dalam proses pembelajaran dan evaluas
  9. bentuk lain yang dapat menjamin Peserta Didik Penyandang Disabilitas fisik untuk mendapat layanan pendidikan.

Untuk peserta didik dengan disabilitas intelektual, maka bentuk akomodasi yang layak adalah:

  1. pemberian afirmasi seleksi masuk di Lembaga Penyelenggara Pendidikan sesuai dengan kondisi intelektual Peserta Didik Penyandang Disabilitas
  2. fleksibilitas proses pembelajaran
  3. fleksibilitas bentuk materi pembelajaran sesuai dengan kebutuhan
  4. fleksibilitas dalam perumusan kompetensi lulusan dan/ atau capaian pembelajaran
  5. fleksibilitas dalam evaluasi dan penilaian kompetensi
  6. penyesuaian rasio antara jumlah guru/dosen dengan jumlah Peserta Didik Penyandang Disabilitas intelektual di kelas
  7. capaian pembelajaran yang ingin dicapai dalam proses pendidikan harus disesuaikan dengan kemampuan masing-masing individu Peserta Didik Penyandang Disabilitas intelektual.
  8. penyediaan pengajaran untuk membangun keterampilan hidup sehari-hari, baik keterampilan domestik, keterampilan berinteraksi di masyarakat, maupun di tempat berkarya
  9. fleksibilitas waktu penyelesaian tugas dan evaluasi
  10. fleksibilitas masa studi
  11. penyediaan ruang untuk melepas ketegangan ruang relaksasi
  12. ijazah dan/atau sertifikat kompetensi yang menginformasikan capaian kemampuan Peserta Didik Penyandang Disabilitas intelektual dalam bentuk deskriptif dan angka
  13. bentuk lain yang dapat menjamin Peserta Didik Penyandang Disabilitas intelektual untuk mendapat layanan pendidikan.

Untuk peserta didik dengan disabilitas mental, maka diperlukan akomodasi yang layak dalam bentuk:

  1. pemberian afirmasi seleksi masuk di Lembaga Penyelenggara Pendidikan sesuai dengan kondisi mental Peserta Didik  
  2. fleksibilitas proses pembelajaran
  3. fleksibilitas bentuk materi pembelajaran sesuai dengan kebutuhan
  4. fleksibilitas dalam perluasan kompetensi lulusan dan/ atau capaian pembelajaran
  5. fleksibilitas dalam evaluasi dan penilaian kompetensi
  6. fleksibilitas masa studi sesuai dengan kondisi mental Peserta Didik Penyandang Disabilitas berdasarkan keterangan medis
  7. fleksibilitas waktu penyelesaian tugas dan evaluasi 
  8. fleksibilitas waktu untuk tidak mengikuti pembelajaran pada saat Peserta Didik Penyandang Disabilitas menjalani proses perawatan mental
  9. mendapatkan materi pembelajaran sebelum proses pembelajaran berlangsung
  10. fleksibilitas posisi duduk dan waktu istirahat saat mengikuti proses pembelajaran
  11. ketersediaan layanan tutorial oleh Pendidik atau Peserta Didik lainnya untuk membantu dalam memahami materi pembelajaran
  12. pemberian bantuan pada saat Peserta Didik Penyandang Disabilitas mental mengalami kondisi yang tidak memungkinkan untuk mengikuti pembelajaran
  13. penyediaan ruang untuk melepas ketegangan/ruang relaksasi
  14. fleksibilitas dalam proses pembelajaran dan evaluasi
  15. fleksibilitas tempat pelaksanaan evaluasi
  16. bentuk lain yang dapat menjamin Peserta Didik Penyandang Disabilitas mental untuk mendapat layanan pendidikan.

Kemudian untuk peserta didik dengan disabilitas netra, diperlukan akomodasi yang layak dalam bentuk:

  1. pemberian afirmasi seleksi masuk di Lembaga Penyelenggara Pendidikan  
  2. fleksibilitas proses pembelajaran
  3. fleksibilitas bentuk materi pembelajaran sesuai dengan kebutuhan
  4. fleksibilitas dalam perumusan kompetensi lulusan dan/atau capaian pembelajaran
  5. fleksibilitas dalam evaluasi dan penilaian kompetensi
  6. penerapan standar laman yang aksesibel dalam penggunaan teknologi, aplikasi, dan peralatan berbasis teknologi baik dalam sistem pendaftaran, administrasi, proses belajar mengajar, maupun evaluasi
  7. penyediaan denah timbul/maket yang menggambarkan lingkungan fisik sekolah Lembaga Penyelenggara Pendidikan
  8. layanan pendampingan untuk orientasi lingkungan fisik sekolah Lembaga Penyelenggara Pendidikan
  9. sosialisasi sistem pembelajaran termasuk sistem layanan perpustakaan di sekolah Lembaga Penyelenggara Pendidikan
  10. penyerahan materi pembelajaran sebelum dimulai kegiatan pembelajaran
  11. penyesuaian format media atau materi pembelajaran serta sumber belajar yang aksesibel
  12. penyesuaian strategi pembelajaran untuk muatan pembelajaran khususnya matematika, fisika, kimia, dan statistik
  13. modifikasi materi pembelajaran, pemberian tugas, dan evaluasi untuk muatan pembelajaran khususnya olah raga, seni rupa, sinematografi, menggambar, dan yang sejenisnya
  14. ketersediaan Pendidik atau alat media yang dapat membacakan tulisan yang disajikan di papan tulis/layar dalam proses belajar di kelas
  15. penyediaan sumber baca, informasi, dan layanan perpustakaan yang mudah diakses
  16. penyesuaian cara, bentuk penyajian, dan waktu pengerjaan tugas dan evaluasi termasuk melalui:

  • penyajian naskah dalam format braille terutama untuk naskah yang banyak menggunakan simbol khusus seperti matematika, kimia, dan bahasa Arab
  • modifikasi penyajian soal yang menampilkan gambar dan bagan dalam bentuk gambar timbul yang telah disederhanakan, deskripsi gambar, atau penggunaan alat peraga
  • penyajian soal ujian dalam bentuk soft copy, yang dioperasikan dan dikerjakan dengan menggunakan komputer bicara yaitu komputer yang dilengkapi perangkat lunak pembaca layar
  • pembacaan soal ujian oleh petugas pembaca
  • perpanjangan waktu dalam penyelesaian tugas
  • perpanjangan waktu paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari waktu yang ditentukan untuk pelaksanaan evaluasi yang menggunakan format braille atau dibacakan

 17. bentuk lain yang dapat menjamin Peserta Didik Penyandang Disabilitas netra untuk mendapat layanan pendidikan.

Bentuk akomodasi yang layak bagi Peserta Didik Penyandang Disabilitas rungu atau Disabilitas wicara berupa:

  1. pemberian afirmasi seleksi masuk di Lembaga Penyelenggara Pendidikan sesuai dengan kondisi intelektual Peserta Didik Penyandang Disabilitas rungu atau Penyandang Disabilitas wicara
  2. fleksibilitas proses pembelajaran
  3. fleksibilitas bentuk materi pembelajaran sesuai dengan kebutuhan
  4. fleksibilitas dalam perumusan kompetensi lulusan dan/ atau capaian pembelajaran
  5. komunikasi, informasi, dan/atau instruksi dalam proses pembelajaran dan evaluasi menggunakan cara yang sesuai dengan pilihan masing-masing Peserta Didik Penyandang Disabilitas rungu atau Penyandang Disabilitas wicara
  6. pendampingan di kelas baik oleh juru bahasa isyarat maupun oleh juru catat jika Pendidik tidak dapat berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat
  7. fleksibilitas pengerjaan tugas dan evaluasi menggunakan tulisan, presentasi lisan dengan bantuan juru bahasa isyarat, presentasi video, animasi, dan bentuk audio visual lain
  8. fleksibilitas waktu pengerjaan tugas dan evaluasi
  9. modifikasi tugas dan evaluasi pelajaran bahasa asing yang dikonversi dalam bentuk tugas tertulis
  10. fleksibilitas posisi duduk sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan Peserta Didik Penyandang Disabilitas rungu atau Penyandang Disabilitas wicara dan posisi Pendidik menghadap ke Peserta Didik Penyandang Disabilitas rungu atau Penyandang Disabilitas wicara dalam menyampaikan materi pembelajaran
  11. bentuk lain yang dapat menjamin Peserta Didik Penyandang Disabilitas rungu atau Penyandang Disabilitas wicara untuk mendapat layanan pendidikan. 

Sedangkan untuk peserta didik dengan disabilitas ganda atau multi disediakan dalam bentuk kombinasi dari Akomodasi yang Layak ada sesuai dengan ragam disabilitasnya.